Posting Paling Sering Dikunjungi

Selasa, 10 Agustus 2010

Mari Hapus Stigma Negatif Tentang Epilepsi

Mari Hapus Stigma Negatif Tentang Epilepsi
(Aska Primardi, S.Psi, M.A.)



Epilepsi. Banyak orang yang memiliki gangguan syaraf ini. Seseorang baru boleh dinyatakan sebagai Orang Dengan Epilepsi (ODE) dengan segala konsekuensinya bila telah dapat dibuktikan secara medis. Buktinya adalah pada tubuh atau otak orang tersebut tidak ditemukan penyebab kejang lain yang dapat dihilangkan/disembuhkan. Penyebab yang dapat disembuhkan misalnya adalah tumor, atau malformasi dari pembuluh darah, atau sisa darah di permukaan otak yang mengiritasi otak (Arifin, 2004).

Gangguan epilepsi dapat menyerang siapa pun, anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Rentang usia ODE adalah 20-70 tahun per 100.000 orang, dengan prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000 (Baker & Jacoby, 2002). WHO (2009) menambahkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Sebanyak 90% ODE ditemukan pada negara-negara berkembang, dan sebagian besar ODE belum mendapatkan treatment sesuai yang mereka butuhkan. Perkiraan persentase jumlah ODE pada sebuah negara adalah sekitar 1,9-2% dari total jumlah penduduk suatu negara (PDPERSI, 2002).

Berdasarkan presentase jumlah ODE pada satu negara, jumlah ODE di Indonesia diperkirakan ada sekitar 4 juta orang (PDPERSI, 2002). Namun, jumlah data yang terkumpul sampai tahun 2006 hanya sampai pada angka 1-1,5 juta orang (“Penderita epilepsi tidak sembuh,” 2006). Dari total 1,5 juta orang tersebut, sekitar 20% ODE di Indonesia belum dapat disembuhkan. Sebanyak 20% lainnya baru dapat disembuhkan dengan menjalani operasi, dan sisanya (60%) dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur. Sebanyak 20% ODE yang telah menjalani operasi tersebut, mengalamipenurunan jumlah serangan yang signifikan, dan juga ada yang sama sekali tidak mendapatkan serangan kembali. Sisanya, sebanyak 80% ODE masih mengalami serangan.

ODE sebenarnya dapat hidup normal, produktif, dan mencapai kedudukan dalam masyarakat, bila mendapat pengobatan yang tepat. Prevalensi ODE di Indonesia memang sulit diketahui, sebab banyak orang tua yang menyembunyikan kenyataan bahwa anaknya memiliki gangguan epilepsi. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini masyarakat masih menganggap gangguan tersebut sebagai kutukan (PDPERSI, 2000).

Liveneh dan Antonak (dalam Bishop & Hermann, 2000) mengemukakan bahwa stigma, sikap negatif, dan mispersepsi tentang ODE ditemukan di setiap daerah atau negara. Kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma sosial yang negatif tersebut membuat ODE menjadi ”terjebak dalam kegelapan”, dan cenderung menutup diri (Desjarlais, Eisenberg, Good, & Kleinman, 1995). Masalah-masalah tersebut terjadi hampir pada setiap negara dan budaya. Berikut ini beberapa fakta yang ditemukan WHO (t.t.) :

1. Di Kamerun, terdapat kepercayaan bahwa epilepsi disebabkan oleh pengaruh setan yang seketika merasuki tubuh ODE.

2. Di Cina, epilepsi mengurangi hak seseorang untuk menikah, terutama ODE wanita. Survei tahun 1992 menunjukkan bahwa 72% orang tua melarang anaknya menikah dengan ODE.

3. Di beberapa daerah di India, ada tindakan pengusiran setan pada diri ODE dengan cara mengikatnya pada pohon, memukul, mencukur sebagian rambutnya, memeras lemon dan jus lain pada kepala, lalu membuatnya kelaparan.

4. Di Indonesia, epilepsi dianggap sebagai gangguan yang bersifat mistis.

5. Di Liberia, Swazilan, dan negara Afrika lainnya, epilepsi dikaitkan dengan ilmu sihir.

6. Di Nepal, epilepsi dianggap berkaitan dengan ilmu sihir dan refleksi red colour, dan ODE kadang disirami air pada dahinya.

7. Di Belanda pada tahun 1996, ODE dicambuk lalu diisolasi karena epilepsi dianggap berkaitan dengan ilmu sihir.

8. Di Uganda dan negara-negara lainnya, epilepsi dianggap menular, sehingga ODE diasingkan.

WHO menambahkan bahwa pada beberapa negara seperti Cina, India, Inggris, ataupun Amerika, sempat terdapat pandangan bahwa ODE tidak berhak menikah, berkeluarga, bekerja, ataupun berada di tempat-tempat umum; seperti restoran, bioskop, taman, dan tempat-tempat umum lainnya.

Shani (n.p) memaparkan sebuah hasil studi di Cina, tepatnya di propinsi Henan. Pada propinsi ini penduduknya menyadari, memahami, dan menerima epilepsi. Namun, hasil studi menunjukkan hal sebaliknya, yaitu :

1. Sebanyak 87% penduduk tidak ingin anak mereka menikah dengan ODE.

2. Sebanyak 57% penduduknya tidak ingin anak mereka bermain dengan ODE berusia anak-anak di sekolah.

3. Sebanyak 53% penduduknya berpendapat bahwa seseorang yang didiagnosis epilepsi seharusnya tidak diberi hak kerja yang sama seperti orang lain.

Segala bentuk masalah psikososial ODE disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, dari gangguan epilepsi itu sendiri. Kedua, akibat dari efek samping pengobatannya. Ketiga, secara tidak langsung merupakan konsekuensi sebagai orang yang hidup dengan gangguan epilepsi. Hal ini disebabkan masih adanya label sosial tentang epilepsi. Label yang bersifat negatif ini seringkali menjadi faktor pemicu stress yang lebih dominan daripada faktor medis, ataupun psikis. Label sosial inilah yang dapat memperburuk masalah pada ODE, contohnya adalah masalah pekerjaan, ataupun stigma negatif masyarakat tentang epilepsi (Argyiriou et al, 2004).

Inilah masalah kami coba atasi melalui Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI). Kami percaya bahwa setiap orang mempunyai jiwa sosial dan kemanusiaan yang baik. Sebagai makhluk sosial kita diajarkan untuk saling menolong satu sama lain. Tak heran muncul berbagai kelompok masyarakat untuk memberikan dukungan material dan psikologis kepada para penderita kanker, tumor, stroke, autis, dan lain-lain. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah : mengapa sampai saat ini belum terlihat dukungan kepada ODE? Kalau penderita gangguan yang lain bisa, kenapa ODE tidak bisa?

Dari sudut pandang psikologi, dapat dijelaskan bahwa perilaku seseorang itu terbentuk berdasarkan apa yang ia pikirkan dan apa yang dia rasakan. Sehingga, jika seseorang mempunyai persepsi buruk tentang epilepsi, maka ia akan bertindak buruk kepada ODE. Sebaliknya, jika seseorang sudah mengetahui lebih mendalam lagi tentang epilepsi (penyebab, gejala, dll), maka ia akan bertindak baik kepada ODE. Inilah yang menjadi tugas kami untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada setiap orang agar stigma buruk tentang epilepsi dapat hilang.

Ada satu pesan dari Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin Sp. BS yang telah banyak melakukan operasi pada para ODE di Indonesia, yaitu :

”Gangguan epilepsi bukan hanya kejang dan diatasi lewat pengobatan atau operasi. Tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi, pergaulan, kepribadian, dan sebagainya. Gangguan kepribadian, seperti rasa minder, lebih sulit diatasi daripada gejala kejang-kejangnya”

Mari kita pelan-pelan hapus stigma buruk tersebut. Epilepsi bukanlah gangguan yang menular, dan bukan gangguan yang berhubungan dengan hal-hal mistis/supranatural. Epilepsi tidak menular, dan ODE berhak untuk hidup seperti orang pada umumnya. Ketika ODE tidak terkena serangan, maka ia tidak akan nampak berbeda dengan orang lain.

Referensi :
Arifin, M. T. (2004). Epilepsi, bagaimana jalan keluarnya?.Artikel. Diakses pada tanggal 30 April 2009, dari http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=46

Argyriou, A. A., Papapetropoulos, S., Polychronopoulos, P., Corcondilas, M., Argyriou, K., & Heras, P. (2004). Psychosocial effects and evaluation of the health-related quality of life in patients suffering from well-controlled epilepsy. J Neurology, 251, 310–313.

Baker, G. A., & Jacoby, A. (2000). The problem of epilepsy. In Baker, G. A., &Jacoby, A. (Ed),Quality of life in epilepsy : beyond seizure counts in assessment and treatment(pp 1-10). Amsterdam : Harwood Academic Publishers.

Bishop, M. & Hermann, B. (2000). Impact of epilepsy on quality of life : a review. In Baker, G. A., &Jacoby, A. (Ed),Quality of life in epilepsy : beyond seizure counts in assessment and treatment(pp 104-117). Amsterdam : Harwood Academic Publishers.

Desjarlais, R. Eisenberg, L. Good, B. & Kleinman, A. (1995). World mental health : problems and priorities in low-income countries. New York : Oxford university Press, Inc.

PDPERSI. (2000). Penyandang epilepsi dapat hidup normal. Artikel. Diakses pada tanggal 28 April 2008, dari http://pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=14&tbl=cakrawala.

PDPERSI. (2002). Epilepsi.Artikel. Diakses padatanggal 6 November 2008, dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/?show=detailnews&kode=907&tbl=artikel

WHO. (2009). Epilepsy. Artikel. Diakses pada tanggal 28 April 2009, dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/

Kategori

abc Epilepsi (5) Acara Epilepsi (1) acara TV (1) adsense (1) Album Photo (1) apa itu epilepsi (4) bagaimana epilepsi (2) Berdamai Dengan Epilepsi (1) bisnis internet (1) buku (1) buku epilepsi (1) buletin rutin YEI (2) carbamazepine (1) Carbamazepine; luminal (1) cerita epilepsi (5) clobazam (1) Data Anggota (1) Data BASS anggota (1) Diet Ketogenik (6) Donasi (3) Donatur (1) epilepsi (3) epilepsy and food combining (1) Fun Walk (2) Fun Walk 2015 (3) Ganggua Penyerta (1) halal bil halal (3) Hari Epilepsi Internasional (2) Himbauan (1) HUT Yayasan Epilepsi Indonesia (3) HUT YEI 2016 (1) Idul Fitri (1) Jaknews (1) kartu anggota (1) Keanggotaan (1) Kebiasaan Mengkonsumsi Obat (1) kegiatan (16) kelangkaan obat (1) Kepengurusan (2) Kerjasama (1) ketrampilan (4) Kiat (2) komunitas (2) Komunitas Debosi (2) komunitas peduli epilepsi (2) komunitas peduli epilepsi Bandung (1) Konferensi (1) Konferensi Nasional Epilepsi 2016 (1) Media Massa (18) menikah (1) Misi YEI (2) Nomor ID YEI (1) Olah Raga (1) opini (1) pemeriksaan darah (1) Pendaftaran Anggota YEI (1) Pendataan anggota YEI (1) Pengobatan Epilepsi (1) Pertemuan (5) Pertemuan Rutin (9) Pertemuan Rutin epilepsi (1) prodia (2) Puasa (2) purple day (3) purple day 2013 (2) Purple Day 2014 (3) purple day 2017 (1) Resolusi WHO (1) Seminar (17) seminar epilepsi (4) survey (1) tabel (1) Tahun Baru (1) talk show epilepsi (1) tata laksana epilepsi pada penderita Dewasa (1) Terapi Epilepsi (2) tips (1) Tulisan bebas (7) Ucapan Idul Fitri (1) ulang tahun YEI (2) Wirausaha (1)

Purple Day - 26 Maret